Hidup memang tidak bermula dari minum. Namun tanpa minum, hidup tidak akan pernah ada. Tanpa minum hidup akan menjadi sesuatu yang kering dan gersang, sama seperti halnya ladang yang tidak pernah tersiram air. Tanpa minum, ladang akan menjadi tandus dan tidak bisa membuahkan apa pun. Setiap bibit tanaman sesubur apa pun akan mati jika ditanam di ladang yang tandus. Sebab tanpa minum ladang akan menjadi hamparan tanah mati yang keras serta penuh siksaan.
Di sini, setiap hidup tanpa terkecuali selalu terikat dengan minum, meski kebutuhan minum masing-masing hidup selalu memiliki kadar yang relatif dan berbeda-beda. Dalam dunia tumbuhan misalnya, akan kita temukan betapa terdapat jenis-jenis tanaman yang memang membutuhkan minum jauh lebih banyak dari yang lain. Ini misalnya jenis tumbuhan berdaun lebar yang tingkat penguapannya jauh lebih tinggi. Dan sebaliknya terdapat pula jenis-jenis tumbuhan yang justru membutuhkan minum jauh lebih sedikit dari yang lain. Keragaman ini berlaku pula pada dunia binatang, di mana masing-masing binatang memiliki kebutuhan minum yang berbeda-beda dan tidak pernah sama. Seekor chitah misalnya tidak akan pernah minum sama banyaknya dengan gajah atau unta. Chitah sehaus apapun tidak akan minum jauh melebihi porsi minum unta atau pun gajah. Hukum ini tidak akan pernah berubah sampai kapan pun, karena memang begitulah kadar kebutuhan hidup mereka akan minum. Hanya saja dalam dunia manusia, sifat dan hukum itu mengalami beberapa pencualian. Untuk soal minum hidup manusia memang tak berbeda dengan binatang atau tumbuhan. Manusia selalu butuh minum dan tidak mungkin lepas dari minum. Tanpa minum manusia akan mengalami kepunahan secara permanen. Tubuhnya akan lemas dan kehilangan tenaga. Lalu pelan-pelan ia akan kehilangan seluruh kesadarannya dan mati. Minum bagi manusia adalah hal yang vital dan tak tergantikan. Saat masih bayi setiap manusia pertama-tama bukanlah membutuhkan makan melainkan membutuhkan minum. Lalu setelah disusui ia menjadi kuat dan mulai membutuhkan makanan. Tapi hal itu bukan berarti menghentikan ketergantungannya akan minum, sebaliknya makin meningkatkan kebutuhan manusia terhadap minum. Konon guna menopang tubuhnya agar tetap exist, manusia dewasa selalu butuh minum air putih sekurangnya 1600 cc atau sekitar 8 gelas, dengan begitu metabolisme tubuh mampu bekerja secara normal. Begitulah hidup bagi siapa pun tidak lain adalah minum, dan tanpa minum tidak akan pernah ada sesuatu yang disebut sebagai hidup itu sendiri.
Selain menjadi sesuatu yang bersifat elementer dan ragawi, minum bagi manusia, memiliki makna yang kompleks bahkan menjadi sesuatu yang halus. Bagi manusia, minum terkadang bukan kebutuhan hidup yang ragawi, sebab tubuh yang kehausan, dan guna menjaga keesksisan tubuh, akan tetapi juga bersifat metaragawi berkelindan dengan aspek psikis atau batin. Oleh karena itu manusia kerap minum bukan karena desakan fisik, sebaliknya justru sebab desakan psikis baik untuk memperoleh kesenangan, atau pun merayakan sebuah kepedihan.
Minum bagi manusia selalu menjadi sesuatu yang tidak pernah terduga. Suatu ketika manusia mungkin terlihat begitu kehausan, sehingga ia minum melampaui ukuran dari batas kebiasaannya. Namun di waktu yang lain, ia justru terlihat tidak meminum apa pun, selain hanya segelas air putih yang ia dapatkan dari kran. Manusia adalah peminum laten yang dingin, yang bahkan bisa minum dengan situasi, di mana ia tidak merasakan haus sama sekali.
Di kota-kota besar misalnya, banyak terdapat diri yang rela menghabiskan separuh lebih dari gaji bulanan yang diterimanya, hanya untuk melunaskan hasratnya akan minum. Ramai-ramai mereka mendatangi pub-pub, bar, kedai serta tempat minum lainnya, untuk bisa menuntaskan kesenangannya akan minum dan minuman. Ada yang minum untuk tertawa, , namun ada pula yang minum untuk menangis. Di mana minuman ditumpahkan bukan untuk mengalami kehangatan, sebaliknya untuk mengalami dingin dan pedihnya kelengangan.
Ia mungkin jenis manusia yang sama sekali tidak suka minum, selain ketika ia sungguh-sungguh mengalami haus. Namun sebab sesuatu hal, entah itu kesepian yang jahat, atau pun perasaan begitu sendiri telah membuatnya menjadi diri yang penuh dengan hasrat untuk minum. Hingga sepanjang hari, ia tidak pernah memasukkan sesuatu apa pun ke dalam mulutnya, selain bergelas-gelas minuman yang membuat perasaannya beberapa saat terasa ringan.
Ia sendiri cukup sadar, betapa minum tidak membawanya pada temuan apa pun, selain jemarinya yang makin hari, mahir dalam menuang minuman ke dalam gelasnya. Ia sadar minum tidak akan membuatnya jauh lebih mengerti dengan segala hal yang tengah terjadi dalam hidupnya, selain lidahnya, yang makin hari, makin lihai dan peka dalam mencecap rasa minuman. Namun sepanjang kesadaran itu muncul, perasaannya selalu tidak sanggup menanggungnya. Maka, no way out, minum akhirnya menjadi pilihan yang paling masuk akal untuk tidak bunuh diri dan tidak membunuh orang. Dan sejak itu, jadilah ia menjadi seorang peminum yang tak pernah terpuaskan, yang dari waktu ke waktu, terus berlari dengan rasa haus yang terus membakar. Di sini, minum menjadi hasrat yang aneh. Minum menjadi perilaku yang bukan sekedar menuang benda cair ke gelas, dan mendekatkan cawan ke bibir sebab rasa haus, melainkan sebuah kursi roda, juga tongkat penopang dari jatuh, bagi situasi di mana sebuah hidup, mati-matian terus dipertahankan, sekaligus dihancurkan dengan diam-diam dan begitu.
Di titik ini, minum tidak pernah menjadi sebuah hasrat serta pekerjaan yang sederhana yang begitu biasa, sebaliknya selalu menjadi fenomena menakjubkan yang memunculkan beragam keunikan. Terkadang harmoni, terkadang pula paradox. Terkadang ironi, namun terkadang pula tragedy dan kepedihan yang paling buntung. Hanya saja hal kalkulasi hidup, minum dan keberminuman selalu menjadi sesuatu hal jarang tersadari oleh siapa pun. Dus, setiap peminum tidak pernah sungguh-sungguh mengerti apa itu minum dalam hidup serta apa itu keberminuman dalam kehidupan.
Suatu ketika atau bahkan setiap saat, minum, mungkin menjadi sebuah pekerjaan yang begitu biasa. Namun dalam sifatnya yang begitu biasa, minum, pada dasarnya tidak pernah merujuk sesuatu yang biasa. Minum selalu menunjuk pada hal yang aktif, mengandaikan adanya gerak, laku, bahkan hidup itu sendiri. Minum adalah jarak kesadaran, antara merasakan diri dan merasakan yang bukan diri. Seseorang yang masih minum akan merasakan, betapa ia masih memiliki laku juga kehidupan. Sebab hanya orang sudah mati saja yang tidak lagi butuh minuman.
Di sini, sifat biasa minum kemudian menjadi sesuatu yang tidak sepenuhnya biasa, sebaliknya berubah menjadi pekerjaan yang selalu luar biasa serta menakjubkan. Minum adalah hidup itu sendiri. Minum adalah tuntutan hidup, resiko, tanda, sekaligus definisi terbatas dari gerak hidup itu sendiri. Mengalami hidup berarti mengalami minum; situasi ketika hasrat minum dan pekerjaan meminum, bersatu padu ke dalam sikap merasai rasa minuman. Maka, minum dan hidup atau hidup dan minum pada akhirnya dua diksi yang menawan untuk direnungi dalam hidup yang selalu menjadi sikap keber-minum-an.
Suatu ketika saat hidup dibendakan, kita akan menemukan adanya ungkapan, betapa hidup tidak lain hanyalah soal memilih minuman. Maka sebagian orang kemudian selalu menyakini pilihan atau kemampuan memilih dan mengenali minuman menjadi bagian terpenting guna memperoleh keberminuman hidup yang tepat. Namun saat hidup menjadi sebuah "sikap dan laku", ungkapan yang muncul, bukan bagaimana memilih minuman, sebaliknya bagaimana cara-mu meminum. Tidak penting apa yang kau minum dan minuman apa yang ada digenggaman tanganmu. Yang terpenting adalah bagaimana caramu di dalam meminumnya.
Jika engkau tahu cara meminumnya, maka hidupmu pasti akan menyenangkan. Di sini, sekali lagi, minum bukanlah sesuatu hal yang biasa, melainkan sesuatu yang secara budaya memiliki makna, juga posisi yang begitu penting, terkait dengan nilai-nilai dalam hidup itu sendiri. Cara minum berkaitan dengan cara hidup.
Semakin mahir seseorang dalam meminum, semakin mahir pula ia menikmati minuman. Artinya hal yang menarik dari minum, pertama-tama bukanlah minumannya, tapi justru “pekerjaan minum” itu sendiri, sebab minum selalu terkait dengan bagaimana “aku subyek diri”, saat merasai, dan menyadari, bagaimana cita rasa minuman hidup, yang memang terkadang tidak selalu terasa nikmat dilidah.
Dalam sebuah kearifan, situasi ini kerap dipandang sebagai situasi yang menuntut siapa pun, bahwa sebelum minum, ia terlebih dulu harus mengenal jenis minuman, hakikat minuman, mulai dari nama, rasa, hingga pola penghidangan, seni atau cara dalam meminumnya, serta merasakan rasa minuman itu. Jika anda seorang peminum sejati, anda pasti mampu merasakan betapa berbedanya cita rasa ‘wine’ dengan ‘gin’. Anda pasti tidak akan menyamakan antara ‘sake’ dan ‘brem’ . Keduanya mungkin sama menyenangkannya, tetapi sebagai peminum, anda tetap tahu betapa geletar sengat fantastis keduanya selalu berbeda. Kopi jahe mungkin sama kopinya dengan kopi susu tapi dalam kesamaan itu, kedua kopi tersebut menunjuk cita rasa minuman yang sama sekali tidak bisa disamakan. Mungkin sangat lembut, namun jarak perbedaan itu selalu terasa keberadaannya.
Dan jarak itulah yang membuat manusia tidak pernah cukup minum dengan satu jenis minuman. Jarak itulah yang membuat manusia tidak pernah berhenti merasa haus, dan menjadi makhluk pecinta minuman yang tak terhentikan. Kadang ia memilih minum air mineral, namun kadang ia berhasrat pada teh, dan terlihat sama sekali tidak menginginkan kopi atau minuman apapun. Hanya saja di waktu yang lain,ia justru seperti pecinta kopi, yang sama sekali tidak pernah merasai manis anggur atau pun teh.
“Minum” dalam budaya, adalah hidup dengan aneka ragam keberlimpahan, yang menyiratkan aneka ragam formula racikan minuman, kekayaan petualangan lidah, kepekaan, serta seni mengalami basah, dan merasai hidup. Kadang satu jenis minuman mengalami pengembangan dan terbagi ke dalam berjenis-jenis minuman yang berbeda, sehingga sulit menghafal satu nama minuman dengan nama lainnya. Eksplorasi manusia akan jenis minuman melahirkan beragam minuman yang selalu baru dan fantastis.
Minum dalam ruang budaya, adalah kesederhanaan yang agung dan penuh keindahan. Di jawa misalnya, minuman kerap disebut dengan nama “wedang”. Wedang itu bersifat sangat budayawi, bahkan terhubung dengan makna-makna etis yang luar biasa. Wedang berasal dari dua anagram. Ada yang berpandangan berasal dari kata “ngawe kadhang”, yang artinya memanggil saudara, ada pula yang menyakini gabungan dari kata “nggawe kadhang”. “nggawe” itu berarti “membuat”, sedang “kadhang” berarti “saudara”. Maka jika digabung “nggawe kadhang”, artinya membuat atau membangun persaudaraan. Hanya saja dalam pengungkapannya, dua kata itu kemudian diambil suku kata belakangnya saja, menjadi we-dang, digunakan untuk menyebut minuman yang dimaksudkan untuk membangun persaudaraan.
Di sini, mengingat minuman atau wedang adalah ingatan akan hidup berbagi dan tidak mementingkan kepentingan diri sendiri. Wedang atau minuman tidak lagi semata-mata menjadi benda cair yang termuat dalam bentuk wadah-wadah tertentu yang eksotis, yang dimaksudkan untuk menghilangkan dahaga, sebaliknya menjadi alat, sekaligus simbol yang mengandaikan sebuah sikap hidup agung, untuk selalu mau dan rela berbagi dengan sesama, baik dalam kemuliaan atau pun keberlimpahan. Sikap ini tentu saja bukan sikap hidup yang mudah untuk diterapkan sebab berbagi adalah sikap yang selalu terhubung dengan rasa kepemilikan diri, baik pada hal-hal yang bendawi atau pun non bendawi.
Berbagi berarti melampaui kuatnya belenggu kepemilikan atas diri dan hidup itu sendiri. Dan hanya mereka yang sungguh-sungguh memiliki hati yang sudah tidak terbelenggulah, yang mampu berbagi hidup, termasuk berbagi minuman. Berbagi adalah sikap hidup minum yang benar, agar saat meminum kehidupan, kita sungguh-sungguh meminum, bukan sebaliknya, terminum oleh rasa hidup itu sendiri.
Namun demikian, minum tanpa terminum, ternyata bukan hal yang mudah dilakukan. Sebaliknya hal itu menjadi sikap batin yang sangat sulit, terutama di zaman sekarang, era di mana seluruh hal telah sarat dengan belenggu kepemilikan. Akibatnya minuman tidak memberikan ingatan apa pun selain pelunasan hasrat ingin mereguk. Tidak peduli bagaimana cara dan gayanya, yang terpenting adalah hasrat itu mampu terpuaskan selunas-lunasnya. Persoalan cara minum, mungkin masih menjadi pertimbangan, akan tetapi pada wilayah teknis semata, hanya agar saat minum, minuman tersebut tidak tumpah ke hidup atau menumpahi baju teman yang duduk di samping kiri nya atau kanannya.
“Minum” tidak lain adalah sikap keberminuman itu sendiri. Sesuatu yang tidak hanya terhubung dengan minuman apa yang hendak diminum, bagaimana seni atau cara meminumnya, namun juga bertautan kesiapan diri untuk minum, dan merasakan diri dalam minuman, sehingga sang peminum tidak terminum oleh hasrat meminumnya.
Di sini, minum tidak seharusnya disadari sebagai sikap dan laku yang ragawi dan harfiah semata, akan tetapi juga dihayati sebagai sikap batini,yang mengandaikan adanya penghayatan serta kawruh akan hidup dan keberhidupan yang sejati. Tanpa minum memang tidak akan pernah ada yang disebut hidup, sebab keberhidupan itu sendiri sesungguhnya selalu menuntut keberminuman. Akan tetapi sungguh pun demikian, keberminuman hidup tidak boleh dilakukan secara asal atau membabi buta, asal enak dilidah lalu diminum. Sebaliknya harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Tidak setiap hal pahit harus dimuntahkan, sebagaimana tidak setiap hal yang manis boleh diteguk. Dalam tradisi jawa terdapat ungkapan yang sungguh menawan, yang mengungkap tentang hidup dan keberminuman:
“…urip pancen kudu ngombe, ananging ngombe sakjroning urip ora keno nganggo wathon, amargo sejatining urip iku bebasane mung koyo mampir ngombe...”
Hidup memang harus minum, akan tetapi minum dalam hidup tidak boleh dilakukan secara asal dan membabi buta. Sebab hidup sesungguhnya tak ubahnya seperti orang mampir minum. Minum adalah hidup yang selalu fana dan hancur. Oleh karena itu tidak seharusnya keberminuman dalam hidup dilakukan secara membabi buta. Sikap keberminuman hidup yang membabi buta bukanlah sikap minum seorang ksatria atau pendeta, melainkan sikap seorang raksasa atau denawa yang dalam hidupnya hanya berjalan dengan memperturutkan hawa nafsu semata. Sikap hidup ini dipandang sebagai sikap hidup yang tidak sejati, melainkan sikap hidup yang lupa dengan asal usul atau “lali marang sangkan paraning dumadi”. Di mana sebuah keberminuman dialaminya tanpa tujuan apa pun, selain sekedar melunasi keinginan hawa nafsu. Padahal hawa nafsu adalah sesuatu yang tidak akan pernah terpuaskan. Makin diminumi, makin hauslah dia. Karenanya jangan heran meski semuanya telah berhasil direguknya pun, ia akan terus bertanya, “apalagi yang masih bisa ku minum?” Memang tidak ada patokan atau ukuran pasti tentang bagaimana cara minum yang baik, atau mengalami keberminuman yang tidak terminum. Sebuah cara minum yang diyakini oleh sekelompok orang sebagai metode yang tepat dalam mengalmi keberminuman yang baik, terkadang tidak cocok untuk dilakukan oleh sekelompok yang lain. Ini tak berbeda dengan ragam jenis minuman, yang kadang di sebuah tempat begitu digemari sedang di tempat lain justru sama sekali tidak disentuh sama sekali. Hanya saja dalam ragamnya yang begitu kaya, unsur dasar setiap minuman di berbagai budaya, sesungguhnya bertujuan sama yakni untuk memperoleh keberminuman yang sungguh-sungguh minum yang tidak terminum.
Kearifan ini bisa kita temukan manakala nilai-nilai berbagi ini tidak hanya ada dalam tradisi jawa, tapi juga dialami di negeri lainnya, seperti jepang, cina, srilangka, india, atau bahkan di eropa, mulai dari inggris, belanda, arab, amerika, hingga australia. Di jepang misalnya upacara minum teh memiliki posisi budaya yang sangat penting, yang ‘mungkin’ sama pentingnya dengan upacara anggur dalam pelaksanaan “ekaristi” dalam tradisi nasrani, di mana setiap dalam upacara tersebut, setiap jemaat, oleh pastur akan diminumi anggur sebagai simbol menerima pengorbanan jesus. Anggur dalam perayaan ekaristi adalah simbol dari darah jesus.
Pemberian anggur ini biasanya akan diberikan pada jemaat berbarengan roti tanpa ragi (hosti) yang dimaksudkan sebagai simbol daging Yesus. Perbedaannya hanyalah terletak pada penghayatan saat meminumnya. Di mana teh tidak diminum dengan penghayatan sedramatik anggur dalam perayaan ekaristi. Namun begitu keduanya memiliki pesan yang sama universalnya yakni sama-sama bertujuan untuk merayakan hidup sebagai anugerah Tuhan yang tidak terbayar oleh apapun.
Bagi mereka yang belum melihat minum akan dianggap hal yang sederhana. Akan tetapi bagi mereka yang telah melihat, maka akan mengerti betapa pekerjaan sebiasa minum sesungguhnya bukan hal yang sesederhana sebagaimana terlihat, sebaliknya selalu menjadi laku hidup, di mana segala makna serta persoalan hidup yang paling krusial terkandung. Minum bahkan terkait dengan persoalan onto-kosmologi, etika, mistik, bahkan spiritualitas. Sebuah pekerjaan berkait dengan dunia-dunia suprim yang begitu suci, di mana sebuah “kuasa” diberikan, diberkahkan dan diperebutkan. Dari itu memutuskan hidup sebagai sebagai peminum atau mengalami hidup yang minum, bukan pilihan hidup yang sederhana, yang hanya membutuhkan cawan, gelas, botol, cangkir, bibir, tenggorokan, perut, serta kuatnya hasrat untuk basah. Akan tetapi justru meniscayakan adanya kematangan pikir dan batin. Dengan begitu minum yang ia lakukan bukan sekedar menuang benda cair ke dalam cawan dan menggelontorkan ke dalam tenggorokan. Tanpa kematangan pikir dan batin, pekerjaan sesederhana minum menjadi pemantik api yang paling mengerikan, di mana sebuah hidup selalu menjadi sebuah kutukan yang pedih. Sesuatu yang untuk menanggungnya selalu butuh bahan bakar kepedihan yang lain, termasuk membutakan diri, terminum oleh hasrat keberminuman hidup yang selalu menjela-jela dan tak ada habisnya. Semoga kita semakin makin pandai meminum hidup dan tidak justru terminum .
Rabu, 28 April 2010
Langganan:
Postingan (Atom)